CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »
Tampilkan postingan dengan label ilmu-ilmu sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu-ilmu sosial. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 September 2008

Ilmu Geografi Dan Kebijakan Publik

Kesan umum yang saya rasakan setelah membaca komentar, pertanyaan dan tulisan para mahasiswa, lulusan ataupun pengajar geografi khususnya melalui mailinglist adalah bahwa akademik geografi nasional sudah lama mengalami disorientasi dan fragmentasi setelah sekian lama terisolasi dari dinamika perkembangan ilmu geografi.

Ada mata rantai yang terputus (missing link) antara mainstream pemikiran ilmu geografi pada dekade 1960-1970 dengan perkembangan geografi kontemporer. Hal ini terjadi di dua bidang utama ilmu geografi yaitu geografi fisik dan geografi manusia.

Disorientasi di bidang geografi fisik antara lain terlihat dari tidak jelasnya arah riset geomorfologi, klimatologi dan hidrologi itu sendiri, apakah untuk pengembangan akademik seperti pengembangan teori dan metodologi, untuk tujuan applikasi, ataukah untuk kebijakan publik, atau semuanya sekaligus? Jika semata-mata untuk pengembangan akademik, pertanyaannya adalah apa yang membedakannya dengan arah riset dari ilmu dasar geomorfologi, klimatologi dan hidrologi.

Bukankah di dalam geografi kontemporer kemudian berkembang, antara lain riset fluvial geomorphology, geographical climatology - yang umumnya terkait dengan aspek aspek sosial, budaya, dan ekonomi? (lihat antara lain Changnon, 2003 dan Skaggs, 2004)

Fragmentasi ilmu geografi di Indonesia sangat terasa ketika harus berperan dalam kebijakan publik. Analisis supply-demand air bersih untuk level regional & urban, dampak privatisasi sumber daya air, dan isyu managemen sumber daya air lainnya yang memerlukan pendekatan terpadu geografi tidak muncul dari kalangan geograf, walaupun memerlukan pendekatan geographical climatology, fluvial geomorphology, geo-hidrologi, geografi ekonomi, geografi kota dan cabang geografi manusia lainnya secara terintegrasi (lihat antara lain tulisan para geograf yang concern dengan Integrated Water Resource Management seperti Ojo, Gbuyiro & Okoloye (2004), "Implications of climatic variability and climate change for water resources availability and management in West Africa"; dan Bruce Mitchell (2005), "Integrated water resource management, institutional arrangements, and land-use planning".

Di bidang geografi manusia, disorientasi tercermin dari tidak munculnya riset atau pemikiran para geograf, antara lain tentang diffusi innovasi untuk pengembangan industri kecil dan menengah (UKM), fenomena agglomerasi, cluster kegiatan industri? yang sekarang sudah menjadi kebijakan sektor industri nasional (aspek cluster antara lain dapat dilihat pada Martin, R. and Sunley, P., 2003 yang berbeda pendekatannya dengan cluster ala Porter (1990). Belum lagi kebijakan di bidang transportasi, dan infrastruktur lainnya.

Pengembangan ataupun applikasi metode analisis statistik spasial termasuk model kuantitatif dengan GIS ? yang menjadi salah satu ranah (domain) geograf, boleh dikatakan belum dikenal oleh para geograf Indonesia. Ketika diperlukan kebijakan energy-mix, para geograf praktis tidak terlibat dalam pembahasan tentang isyu energi dalam konteks region atau lokalitas yang sesungguhnya sarat dengan dimensi spasial. Timbul kesan bahwa ranah geografi di Indonesia tidak terlalu jauh dari pembahasan tata ruang, perubahan tata guna lahan, ataupun geografi penduduk, yang secara tradisional sudah dikenal sejak awal.

Disorientasi dan fragmentasi jelas akan sangat mengganggu masa depan geografi sebagai disiplin ilmu. Betapapun na?f dan aneh pertanyaan yang diajukan ataupun komentar yang muncul dari mahasiswa ataupun lulusan geografi seyogyanya disikapi lebih terbuka bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki.

Kurikulum pendidikan geografi tidak harus didikte oleh pasar, tapi justru bisa menciptakan pasar melalui kreativitas lulusannya. Dengan kata lain, pendidikan tinggi geografi tidak untuk menyiapkan lulusan siap kerja, tetapi siap dikembangkan dengan kerangka teori dan metodogi kuat, walaupun ilmu terapan tidak boleh diabaikan. Berikan porsi siap pakai melalui program D3.

Membuka keterisolasian adalah membuang egoisme ataupun kebanggaan semu(pseudo) institusi pendidikan tinggi geografi. Semua pihak perlu duduk bersama membahas berbagai persoalan pendidikan. Tidak ada yang salah jika ilmu geografi berada dalam konsorsium Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam (MIPA), walaupun lebih banyak didasarkan pada latar historis bukan substantif.

Persoalannya akan menjadi sangat serius jika pengembangan ilmu geografi terhambat justru karena terjebak penafsiran status ke-MIPA-annya. Indikasi ke arah ini sudah tampak, dan jika ini benar-benar terjadi sungguh tragis nasib pendidikan akademik geografi. Ilmu geografi mandeg atau mati ditangan geograf sendiri.

Senin, 08 September 2008

Pendidikan Ilmu Sosial yang Mengkeret

Meski belum ada riset secara nasional, fakta di lapangan jelas-jelas menunjukkan bahwa Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah mau tidak mau membuat pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang tidak diujikan menjadi mengkeret (squeezed) di sekolah-sekolah menengah. Hal semacam ini tentu saja sudah merupakan konsekuensi logis dari tidak mengkutsertakan ilmu-ilmu sosial pada ujian nasional, apalagi yang menjadikan nilai UNAS sebagai syarat kelulusan. Ilmu-ilmu sosial termarginalkan oleh kebijakan UNAS tersebut.

Bagaimana bentuk pemarginalan ilmu-ilmu sosial tersebut? Yang jelas kita lihat adalah menyusutnya jam-jam pelajaran ilmu sosial di sekolah-sekolah. Hal ini bahkan nampak sangat ekstrim ketika siswa berada di tingkat terakhir dimana mereka harus mempersiapkan diri untuk mengikuti UNAS nantinya dimana sekolah bahkan telah menghapus pelajaran ilmu-ilmu sosial di kelas 3! Dengan menjadikan ilmu-ilmu sosial tidak diujikan bersama dengan ilmu-ilmu yang lain artinya secara terstruktur pemerintah telah menjadikan ilmu-ilmu sosial sebagai ’second class importance’. Sebuah pengingkaran terhadap pentingnya ilmu-ilmu sosial dalam kehidupan.

Apa bahayanya jika ilmu-ilmu sosial diabaikan dan diperlakukan secara marginal? Kita akan berada dalam bahaya kehilangan generasi yang memiliki landasan pemahaman demokrasi yang kuat, dan hanya akan menciptakan generasi yang terdidik secara parsial, tidak terdidik secara utuh dan holistik. Dan ini suatu kerugian besar.

Contoh mengenai hal ini bisa dilihat di AS dengan kebijakan NCLB (No Child Left Behind) yang lebih mementingkan pada penguasaan bahasa dan matematika sehingga mengakibatkan menciutnya kurikulum ilmu-ilmu sosial. Beberapa negara bagian di AS telah mulai mengenyahkan pelajaran ilmu sosial dari kurikulumnya di sekolah dasar dan sekolah menengah. Banyak siswa yang tidak memperoleh pelajaran ilmu sosial sampai kelas 10! Bahkan para guru baru ilmu sosial kesulitan untuk mencari tempat magang dan bahkan untuk sekedar mengamati praktek pembelajaran ilmu sosial di beberapa negara bagian AS. Akibatnya, bukan hanya materi ilmu-ilmu sosial menjadi menciut dan tidak dipelajari lagi di sekolah tapi elemen dari pembelajaran yang penuh pemikiran dan reflekstif dari ilmu-ilmu sosial jadi menghilang. Allan Kullen, President People of America Foundation bahkan menyatakan bahwa hal ini dapat menyebabkan ‘A New Crisis in America’s School’. Ia mengutip David McCullough, pemenang the Pulitzer Prize penulis biografi Truman and John Adams yang menyatakan bahwa jika kecenderungan menciutnya pembelajaran ilmu-ilmu social di sekolah tidak diperhatikan akan dapat membawa dampak besar. “We are losing our story, forgetting who we are and what it’s taken to come this far . . . . Our story is our history, and if ever we should be taking steps to see that we have the best prepared, most aware citizens ever, that time is now,”, alias Amerika akan kehilangan jati diri kata McCullough.

Selama ini kita sudah mengeluhkan betapa kualitas pembelajaran ilmu-ilmu sosial menjadi begitu kering dan tak bermakna. Guru-guru ilmu sosial hanya mengajarkan fakta-fakta dan meminta murid mereka sekedar menghafalkan fakta-fakta tersebut tanpa berusaha untuk memperoleh hikmah dan pemahaman yang mendalam tentang apa dibalik fakta-fakta tersebut. Para guru ilmu-ilmu sosial juga tidak menemukan alasan apalagi misi untuk menjadikan ilmu yang diajarkannya sebagai sumber kebijaksanaan dalam menjawab tantangan berabgai masalah social di masa depan. Mereka hanya menjejali otak siswa-siswa mereka dengan tumpukan fakta tanpa makna dan kini mereka memperoleh pembenaran. Bukankah ilmu-ilmu sosial tidak diujikan secara nasional yang berarti tidak penting? Jika ia tidak penting maka para guru ilmu-ilmu sosial tidak menemukan alasan untuk apa mengajarkan ilmu-ilmu tersebut dengan sebaik-baiknya. Ilmu-ilmu sosial pada akhirnya hanya akan menjadi sekedar usus buntu yang sewaktu-waktu bisa kita potong karena mengganggu. Kita telah membunuh ilmu-ilmu sosial di sekolah-sekolah kita dan kita juga mematikan karir guru-guru ilmu sosial.

Saat ini sungguh sulit untuk menemukan guru-guru ilmu sosial yang berkualitas. Sekolah-sekolah tidak perduli dan pemerintah juga tidak perduli. Mereka toh hanya sebagai pelengkap dalam kurikulum. Jadi siapa yang perduli apakah pembelajaran ilmu sosial kita berkualitas atau tidak? Siapa yang perduli apakah para guru ilmu sosial berkualitas atau tidak? Mengajar dengan penuh semangat dan inspiratif? Tak ada yang perduli saat ini. Perhatian kita semua tertuju pada bidang-bidang yang diujikan pada UNAS.

Apa yang terjadi jika hal ini kita biarkan? Mari kita lihat pada apa yang terjadi di Amerika dimana program NCLB juga telah menciutkan ilmu-ilmu sosial. Berdasarkan survei di Amerika :

  • Lebih dari separoh siswa SMU tidak bisa menyebutkan negara-negara mana saja yang terlibat dalam PD II. Tragis mengingat AS merupakan negara utama yang terlibat.
  • Siswa AS berada di peringkat kedua terbawah dalam survei di sembilan negara dalam penguasaan ilmu-ilmu sosial.
  • Meski negaranya berperang di Iraq dan Afganishtan 87% siswa tidak dapat menemukan letak Negara Iraq dan 83 % tidak tahu letak Negara Afganishtan di peta!
  • 40% siswa tidak tahu pertengahan abad yang mana Perang Sipil di Amerika terjadi.

Meski belum pernah ada survei tentang kemampuan siswa sekolah menengah kita dalam ilmu sosial tapi diyakini bahwa hasilnya tentu tidak akan lebih baik daripada di AS. Bahkan ada seorang teman guru yang berani bertaruh bahwa lebih dari 50% siswa sekolah menengah tidak tahu berapa propinsi sekarang yang ada di Indonesia!

Apakah benar bahwa ilmu sosial tidak penting bagi siswa-siswa kita? Tentu saja itu tidak benar. Semakin intensnya permasalahan politik dan sosial di negara kita dari hari ke hari justru semakin meneguhkan betapa pentingnya pemahaman akan pentingnya peran sejarah, politik, dan budaya pada siswa-siswa kita sebagai pemegang estafet kepemimpinan di masa depan.

Ilmu-ilmu social tidak boleh ‘dimatikan’ di sekolah-sekolah kita dan justru harus diperkuat dengan pembelajaran yang berkualitas yang merangsang siswa untuk berpikir kritis dengan menelaah sejarah, budaya, dan politik yang telah dan sedang terjadi saat ini. Hanya dengan pembelajaran ilmu sosial yang bermakna dan berkualitaslah kita bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin masa depan yang mampu menyelesaikan permasalahan bangsa dengan secara holistik dan komprehensif. Siswa yang buta ilmu sosial pada akhirnya hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang tak mampu menghasilkan keputusan yang tepat bagi bangsa kelak.

Sudah saatnya para ilmuwan ilmu-ilmu sosial turun dan membuat riset tentang dampak menciutnya kurikulum dan merosotnya kualitas pembelajaran ilmu-ilmu sosial ini di sekolah-sekolah menengah dan berusaha untuk mencari solusinya. Jika tidak maka kita akan mengalami masalah kehilangan jati diri yang jauh lebih buruk daripada yang dihadapi oleh AS tanpa tahu apa yang terjadi.

Sejarah Perkembangan Akuntansi

Perkembangan Akuntansi dari Sistem Pembukuan Berpasangan Pada awalnya, pencatatan transaksi perdagangan dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dicatat pada batu, kulit kayu, dan sebagainya. Catatan tertua yang berhasil ditemukan sampai saat ini masih tersimpan, yaitu berasal dari Babilonia pada 3600 sebelum masehi. Penemuan yang sama juga diperoleh di Mesir dan Yonani kuno. Pencatatan itu belum dilakukan secara sistematis dan sering tidak lengkap. Pencatatan yang lebih lengkap dikembangkan di Italia setelah dikenal angka- angka desimal arab dan semakin berkembangnya dunia usaha pada waktu itu. Perkembangan akuntansi terjadi bersamaan dengan ditemukannya sistem pembukuan berpasangan (double entry system) oleh pedagang- pedagang Venesia yang merupakan kota dagang yang terkenal di Italia pada masa itu. Dengan dikenalnya sistem pembukuan berpasangan tersebut, pada tahun 1494 telah diterbitkan sebuah buku tentang pelajaran penbukuan berpasangan yang ditulis oleh seorang pemuka agama dan ahli matematika bernama Luca Paciolo dengan judul Summa de Arithmatica, Geometrica, Proportioni et Proportionalita yang berisi tentang palajaran ilmu pasti. Namun, di dalam buku itu terdapat beberapa bagian yang berisi palajaran pembukuan untuk para pengusaha. Bagian yang berisi pelajaranpe mbukuan itu berjudul Tractatus de Computis et Scriptorio. Buku tersebut kemudian tersebar di Eropa Barat dan selanjutnya dikembangkan oleh para pengarang berikutnya. Sistem pembukuan berpasangan tersebut selanjutnya berkembang dengan sistemyang menyebut asal negaranya, misalnya sistem Belanda, sistem Inggris, dan sistem Amerika Serikat. Sistem Belanda atau tata buku disebut juga sistem Kontinental. Sistem Inggris dan Amerika Serikat disebut Sistem Anglo- Saxon2. Perkembangan Akuntansi dari Sistem Kontinental ke Anglo- Saxon Pada abad pertengahan, pusat perdagangan pindah dari Venesia ke Eropa Barat. Eropa Barat, terutama Inggris menjadi pusat perdagangan pada masa revolusi industri. Pada waktu itu pula akuntansi mulai berkembang dengan pesat. Pada akhir abad ke-19, sistem pembukuan berpasangan berkembang di Amerika Serikat yang disebut accounting (akuntansi). Sejalan dengan perkembangan teknologi di negara itu, sekitar pertengahan abad ke-20 telah dipergunakan komputer untuk pengolahan data akuntansi sehingga praktik pembukuan berpasangan dapat diselesaikan dengan lebih baik dan efisien. Pada Zaman penjajahan Belanda, perusahaan- perusahaan di Indonesia menggunakan tata buku. Akuntansi tidak sama dengan tata buku walaupun asalnya sama-sama dari pembukuan berpasangan. Akuntansi sangat luas ruang lingkupnya, diantaranya teknik pembukuan. Setelah tahun 1960, akuntansi cara Amerika (Anglo- Saxon) mulai diperkenalkan di Indonesia. Jadi, sistem pembukuan yang dipakai di Indonesia berubah dari sistem Eropa (Kontinental) ke sistem Amerika (Anglo- Saxon).
Perkembangan Akuntansi dari Sistem Pembukuan Berpasangan Pada awalnya, pencatatan transaksi perdagangan dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dicatat pada batu, kulit kayu, dan sebagainya. Catatan tertua yang berhasil ditemukan sampai saat ini masih tersimpan, yaitu berasal dari Babilonia pada 3600 sebelum masehi. Penemuan yang sama juga diperoleh di Mesir dan Yonani kuno. Pencatatan itu belum dilakukan secara sistematis dan sering tidak lengkap. Pencatatan yang lebih lengkap dikembangkan di Italia setelah dikenal angka- angka desimal arab dan semakin berkembangnya dunia usaha pada waktu itu. Perkembangan akuntansi terjadi bersamaan dengan ditemukannya sistem pembukuan berpasangan (double entry system) oleh pedagang- pedagang Venesia yang merupakan kota dagang yang terkenal di Italia pada masa itu. Dengan dikenalnya sistem pembukuan berpasangan tersebut, pada tahun 1494 telah diterbitkan sebuah buku tentang pelajaran penbukuan berpasangan yang ditulis oleh seorang pemuka agama dan ahli matematika bernama Luca Paciolo dengan judul Summa de Arithmatica, Geometrica, Proportioni et Proportionalita yang berisi tentang palajaran ilmu pasti. Namun, di dalam buku itu terdapat beberapa bagian yang berisi palajaran pembukuan untuk para pengusaha. Bagian yang berisi pelajaranpe mbukuan itu berjudul Tractatus de Computis et Scriptorio. Buku tersebut kemudian tersebar di Eropa Barat dan selanjutnya dikembangkan oleh para pengarang berikutnya. Sistem pembukuan berpasangan tersebut selanjutnya berkembang dengan sistemyang menyebut asal negaranya, misalnya sistem Belanda, sistem Inggris, dan sistem Amerika Serikat. Sistem Belanda atau tata buku disebut juga sistem Kontinental. Sistem Inggris dan Amerika Serikat disebut Sistem Anglo- Saxon2. Perkembangan Akuntansi dari Sistem Kontinental ke Anglo- Saxon Pada abad pertengahan, pusat perdagangan pindah dari Venesia ke Eropa Barat. Eropa Barat, terutama Inggris menjadi pusat perdagangan pada masa revolusi industri. Pada waktu itu pula akuntansi mulai berkembang dengan pesat. Pada akhir abad ke-19, sistem pembukuan berpasangan berkembang di Amerika Serikat yang disebut accounting (akuntansi). Sejalan dengan perkembangan teknologi di negara itu, sekitar pertengahan abad ke-20 telah dipergunakan komputer untuk pengolahan data akuntansi sehingga praktik pembukuan berpasangan dapat diselesaikan dengan lebih baik dan efisien. Pada Zaman penjajahan Belanda, perusahaan- perusahaan di Indonesia menggunakan tata buku. Akuntansi tidak sama dengan tata buku walaupun asalnya sama-sama dari pembukuan berpasangan. Akuntansi sangat luas ruang lingkupnya, diantaranya teknik pembukuan. Setelah tahun 1960, akuntansi cara Amerika (Anglo- Saxon) mulai diperkenalkan di Indonesia. Jadi, sistem pembukuan yang dipakai di Indonesia berubah dari sistem Eropa (Kontinental) ke sistem Amerika (Anglo- Saxon).